Sabtu, 26 Februari 2011

Ontime is not The wrong decision

Today is February 26, 2011. Saturday planned a meeting among friends alumni a narrative writing workshop. This announcement also announced via facebook and text messaging. Could not wait together again with their jokes. Lili, Jogi, Willy, Rahmad have been more than 9 days did not hear their own jokes.

On Friday, I had a fever. I thought I could not go on Saturday. High body temperature, but I'm cold. I've never had symptoms of malaria.

Saturday, I could recover. I think I will meet them. The next morning I went to college first. Request many signature for scholarship purpose. Starting at 9 until 1 o'clock I was back and forth academic space. At 2 I just got home. My head is not too good. Still like dizzy, and my breath feels hot.

I slept 15 minutes, Rahmad called me. He asked,
"Jadi gak kita ketemuan hari ini, Silvi?".
"Aku gak tahu juga bang."
"Coba hubungin Irna, abis itu kasih tahu aku ya."
"Sip sip sip lah bang."

Tut tut tut

I immediately SMS Irna, my sleepiness disappeared. Irna replied to me, "Aku dak pergi Sil"
Reading text from Irna, I began to feel sleepy again. I thought this event is really not going to be.

SMS Bella came 5 minutes after that. Topics are the same. I asked Bella to be  with me when we go. But  Bella can not. He must go to the Pasar and to WALHI this afternoon. When we are in the way back, I can be with her. I'm quite the spirit to go.

I showered and dressed as quickly as possible. My mind, funny if I'm late coming. Since most of their demands punctuality if they work. I have to ride public transportation for 3 times to reach the place that had been promised.

Bella send the message, "Ir, vi , dimana kalian? jika sudah sampai sms kakak ya". I just got Rimbo intersection at the time. Stop by the ATM, took money. This week I once extravagant.

Ride transportation coloured yellow. There's only 3 people in it. I pay 2000 Rupiahs. Pity. Hard to find passengers, right now.

Start feeling uncomfortable. Mobile phone vibrate. "Aku gk jadi datang nich. Aku ada meeting dengan dosenku." That's the message from Rahmad. I remember Irna said she will go  because of forced Rahmat. Exactly 2 minutes after I thought so, the message from Irna come again "Karena banyak yang konfirmasi gak bisa datang, pertemuan dibatalkan, kita obrolin lewat grup di fb saja ya".

It is true. I'm surprised  with my own feelings. Only briefly confused, why just come down from transport continue to rise again ". I think I'm gonna explode, But I am not.

I read an article about how to be ontime and the benefits to be gained if it be so for recently months. In college I am practicing the same things that I read. That being whatever reason was not ontime it will make people who waited be annoyed. At the February in last workshop , I learned the same thing from Andreas Harsono, a journalist and writer. His concentration is a human right. He is a ontime even Intime. I admire him.
Today is not ending here is not it?
I easily go back home. Upset, what's the point?
Maybe it's now called bad day. Actually it is not as bad as I thought. I'm proud to be on time. I will reap its results later. On time is principle of my life. There is no successful person in the world if they are not on time person.
I'm more mature God. Thank you, this is good for me.

Minggu, 20 Februari 2011

Ini cerita di Sungai Tapa. Sebuah Desa di Kab. Tanjung Jabung Barat, Jambi. 14-19 Februari lalu telah diadakan Workshop Narasi terbaik sepanjang 2011. Pengampunya ialah Andreas Harsono dan Fahri Salam. Mereka berdua guru yang baik. Kisah ini yang terselip selama 6 hari kebanyakan kesan.


Main Basket Gembira

Hanya berlangsung dua kali sebenarnya. Tapi asyiknya bukan main. Pada hari keempat, yang bermain basket sekitar 10 orang. Tentu saja kelompok ku yang menang. Mas Andreas dan klubnya kalah. Tapi ini akan tetap diingat. Mungkin sampai tahun depan, ketika cerita baru siap diukir.

Di hari kedua, Fahri Salam turut serta. Dia lebih tinggi dari saya sekitar 5-10 centimeter. Tentu saja larinya lebih cepat. Hari itu aku satu klub dengan Andreas. Kami tak bisa dikatakan kalah. Masih ada goal yang diciptakan. 

Siapa saja kalian, pasti tak pernah bermain basket dengan jilbab, atau bermain campur. Tak perduli laki-laki atau perempuan. Kami melakukannya. Dan itu tak terlupakan.



PR Feature Malam Sabtu

Tribun Bumbu Listrik


Aku memutuskan berjalan keselatan. Aku telah ditinggalkan rombongan. Yogi, Fahri, Lili, Kelik, dan Willy. Sehari sebelumnya aku telah meminta untuk ikut dengan Yogi ketika dia liputan.
Aku berhasil tahu arah mereka. Selatan bukan arah yang salah. Rendi mengikutiku. Baik untuk kami mengetahui bagaimana mereka mencari berita. Mereka lebih senior dari pada kami. Ilmu mereka juga lebih tinggi, barangkali.
 Mereka berhenti di sebuah kedai. Tak terlalu besar. Ada bangku yang memungkinkan sekitar  9 orang duduk. Mereka telah memesan. Yogi, Lili, Willy, Kelik, meminta dibuatkan kopi susu. Fahri menukar pesanan nya menjadi  kopi susu. Aku tak begitu tahu pesanan awalnya. Kopi adalah minuman kesayangan mereka. Lili pernah cerita, mereka minum kopi seperti minum air pada malam-malam di sungai Tapa. Tapi setelah itu, detak jantung mereka bisa dua kali lebih cepat.
Aku dan Rendi memilih minum air putih hangat. Kupastikan  Rendi ikut-ikutan aku lagi. Aku memang suka air putih hangat. Kurasa Rendi tidak. Yogi bilang “Loh, Cuma air puteh aja dek?”
Yogi memang pandai bercakap-cakap. Dia orang Medan. Dari awal bertemu Yogi di Unja Telanai pada Kamis sore, Yogi lah yang paling banyak cerita. Cerita tentang bagaimana dia liputan, menanyakan peserta lain, hingga merekomendasikan kami untuk menemui Pimred Tribun. Kelik dan Suang adalah wartawan Tribun yang lolos seleksi untuk workshop tahun ini. Mereka terancam gagal ikut karena susahnya mendapat izin.  Tapi pada Jumat sore, sebelum tanggal 14 Februari aku dan Irna pergi ke kantor Tribun melaksanakan rekomendasi Yogi. Benarlah, Kelik mendapat izin itu. Sedang Suang tak bisa beranjak dari Batanghari.
“Ini, baunya nyengat sekali ya Buk, warga disini gimana tanggapannya?” Yogi mulai beraksi
“Ya, iya Mas, mau gimana lagi, ini kalo banyak angin lebih bau lagi lo”
“kalo malam mungkin lebih bau lagi kali ya Buk”
“Ya, kadang siang, kadang malam sama saja, pokoknya asal ada angin baunya pasti keciuman”
Bau yang dimaksud adalah bau limbah pabrik dari perusahaan Lontar papyrus Tebing Tinggi. Tebing Tinggi sebuah desa di Tanjung Jabung Barat, Jambi. 2 jam 30 menit dari pusat kota. Perusahaan yang membuat kertas dan pulp. Cerobong asapnya nampak dari kedai itu. Baunya adalah bau pesing. Ini menurut Yogi. Menurutku jauh lebih parah dari sekedar bau pesing. Waktu datang ke Tebing Tinggi pertama kali dengan Irna. Dari kantor lurah baunya telah keciuman. Kukira ada makanan ikan yang disimpan di Kantor Lurah.
“Kemarin..lagi.. kalo mereka lagi buang limbah, bunyinya seperti bom. Kuat sekali. Pekak kupeng” Berita tambahan dari si Ibu
“Lama buk? Ada 5 menitan?” Yogi menanggapi
“Adalah 5 menitan”
Ibu itu bercerita lumayan banyak. Willy bertanya bisakah kami ke perusahaan itu lewat belakang kedai.  Ternyata cukup jauh. Ibu itu masuk kedalam rumah. Tak keluar lagi sebelum kami ingin membayar Kopi dan goreng pisang. Fahri yang traktir. Yogi dan kawan-kawan menjebaknya.
Aku mengikuti Willy dan Kelik mengambil poto cerobong asap. Willy ngotot sekali ingin masuk ke Perusahaan. Yogi dan Kelik juga. Kemudian berjalan ke timur dan bertemu pondok pesantren. Berjalan lagi. Belum ada yang tahu akan meliput apa. Fahri dan Lili asik dengan pedagang ikan. Aku mengikuti Kelik dan Yogi berjalan menyusuri pasar.  Sambil ketawa-ketiwi. Fahri menjelma jadi laki-laki lucu tahun ini. Setahun yang lalu dia adalah manusia cool  ­yang sedikit tertawa.
Aku, Yogi dan Kelik berhenti di toko Koran, buku, dan kosmetik. Penjaganya seorang bapak berkaos Merah. Asap rokoknya mengepul-ngepul. Membentuk angka 8, bulat biasa, tapi bapak itu tidak bisa membuat tulisan Allah dengan asap rokoknya. Kami melihat-lihat buku. Adalah novel Freddy S dan Maria Cecillia yang banyak di etalase kiri. Guru bahasa Indonesia ku waktu SMA melarang kami membaca novel karangan mereka  berdua.
Di bagian depan, majalah pria dewasa seperti Sexi inside, Popular, dan Liberty dipajangkan pula. Disebelahnya ada majalah anak-anak. Menarik diletakan bersebelahan. Buku pria dewasa yang Covernya hanya ada wanita berdada besar, pakaian mini, dan pahanya terbuka. Novel anak-anak bergambar kartun. Ada juga Tribun edisi Selasa. Ada Tabloid Ponsel disamping tribun.
Nama nya Chaiyar. Dia pemilik toko Koran,  buku dan kosmetik itu. Yogi bertanya Tribun Kamis. Berniat membeli atau cuma basa basi aku juga tidak tahu. 
“Datangnya jam 2 siang mas. Yang ada ya itulah. Yang Rabu habis terjual. “
Kami heran. Apa ada yang akan membeli Koran Selasa di hari kamis?. Koran harian pun datangnya pukul 2 atau pukul 1 siang. Semua Koran didapat dari agen penyalur terbesar di tebing tinggi.  Toko bayu namanya. Chaiyar sendiri yang akan menjemput Koran dan majalah itu ke Toko Bayu. Terletak di depan jalan masuk perusahaan lontar papyrus ditambah berjalan sejauh 10 Meter ke kiri. Koran yang paling sering dibeli oleh Chaiyar adalah Tribun. Itupun hanya 5 hingga 10 eksemplar.
 Alasannya begini, Tribun Murah harganya. Isinya sama saja dengan Jambi Independent atau Jambi Ekspress. Sebelum ada Tribun, Chaiyar membeli JE dan JI. Cuma sering gak kejual  semua. Setelah ada Tribun, JE dan JI tidak lagi di beli. Di Tebing Tinggi, Chaiyar menjual Koran JE dan JI dengan harga 4000 rupiah. Dia ambil untung sebesar 1000. Tribun Cuma 1000 Rupiah. Untung penjualan Tribun untuk satu eksemplar adalah 300 Rupiah.
“Dari 5-10 eksemplar Tribun, bisa habis terus. Kadang yang lama-lama itu juga dibeli sama anak sekolah untuk tugas mereka”
Chaiyar bilang minat baca di Tebing tinggi cukup kuat. Khusus untuk majalah Bola. Di tebing tinggi orang-orang suka menonton bola sambil taruhan. Taruhannya tak tanggung-tanggung. Bisa 5 sampai 6 Juta. Mereka akan duduk diwarung kopi hingga pertandingan selesai. Kami terkejut. Aku menelan-nelan ludah. Kelik garuk-garuk kepala, Yogi ck ck ck. Chaiyar sendiri tidak pernah kelewatan pertandingan Tottenham.  
“Bapak juga pernah taruhan gitu? Tanyaku
“kalo aku sih enggak, orang lain lah pokoknya”
“Tabloid bola dibeli 25 eksemplar pun bisa habis dalam sehari. Harga jualnya adalah 7000. Untuk edisi special bisa dijual dengan harga 9000.”
Soal ruko milik Chaiyar lebih menarik lagi. Ruko itu dibeli pada tahun 99. Dari tahun 95 dia mengontrak Ruko yang sama. Chaiyar keturunan Minang. Dia lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat. Pindah dari Pekanbaru, Pulau Kijang, dan terakhir di Tebing Tinggi. Jenis jualanya tetap sama. Buku, Koran dan kosmetik. Sayangnya listrik belum disambungkan. Tebing Tinggi memang punya masalah dengan ketersediaan air bersih dan listrik. Chaiyar membeli terus air bersih.  Dan tiap bulan harus menyetor sebesar 450000 rupiah kepada penyalur listrik swasta di Tebing Tinggi. Dia biasa dipanggil Pakde.
Pakde, nama aslinya Rais. Dia karyawan perusahaan kayu (aku lupa namanya) yang sekarang telah dibeli WKS. Dia mengerjakan segalanya sendiri. Mulai dari merakit  peralatan hingga mempebaiki  kerusakan. Harga satu mesin sebenarnya bisa mencapai 26 juta. Tapi dia pernah membeli peralatan yang dijual kiloan, lalu dirakit sendiri. Setiap bulan Pakde bisa mendapat 10 juta bersih. Pakde tamat SD saja tidak. Tapi kemampuannya soal listrik sama baiknya dengan tehnisi. Sekarang, pakde dipakai WKS untuk memperbaiki kerusakan listrik.
“Kalau ada listrik yang rusak ya kesana, kalau tidak ya jam 10 sudah pulang.”
Ketika masih bekerja di perusahaan kayu itu, setiap hari jumat selalu dipakai untuk lembur. Seorang tehnisi betulan asal Taiwan mengajari pakde soal listrik. Namanya tak bisa diingat dengan baik oleh ku.
“Ya, dia itu yang mengajari saya. Semuanya didapat dengan otodidak ilmunya”.
***
Listrik di rumah Chaiyar hanya hidup pada pukul 7 sore hingga pukul 7 pagi.
“Tapi mudah-mudahan lah, bupati yang baru ini, menepati janjinya menyambungkan listrik dalam 120 hari masa kerja. Ini udah hampir 1 bulan juga sih. “ kata Chaiyar.
Anak perempuan mendatangi toko Chaiyar. Dia berniat memebeli Tribun. Chaiyar jelaskan bahwa yang ada hanya Tribun edisi Selasa. Dia tak peduli. Kukira ini untuk tugas sekolahnya.
“berapa ni bang?”
“2000”
Perempuan itu memasukan tangan kiri ke saku. Mulutnya seolah bilang “Udah lama, mahal lagi”
Sial!
Kami saling bertatapan. Kukira setelah ini Kelik akan minta naik Gaji.
 









Minggu, 13 Februari 2011


Ini kali pertama
aku menghabiskan malam
untuk mencari cari kata
Seindah mungkin

Aku akan memilih kata sedikit tinta
namun sarat makna
Aku wanita
dan tak dapat terlalu jujur
untuk menyampaikannya

Percayalah,
matahari yang Tuhan berikan
hanya kugunakan untuk melihat
langkah-langkah mu di bumi
Menjadi sepatu mu pun
aku tak akan keberatan

Dan ketika bulan menggantikan
matahari
Kugunakan ia untuk menerangi
mimpiku bersamamu.

Ini kali pertama
aku menulis puisi cinta
Kau yang jadi tinta
untuk menulisnya di hatiku.