Jumat, 31 Desember 2010

I hope I can write this second journal writing well. Because to be honest, I wrote it thirty minutes before class is started.
Sunday yesterday became the busiest week for me.
I have many duties of my new lecturer, new member reception preparations campus magazine. You know I'm the editor in chief.
And I was completely overwhelmed by these things.

I also started playing volleyball again. This became a drain of energy all-out
this is life, so I thought. Who do a lot of will reap much. Everything is important to try, considering I was a teen, It is important for the development of self and personality.

Should I postpone something that could be better if I do something that? Of course not. I'll do anything that could make me, my life, and people who I love to be better off. I should not say quickly tired for all that I lead. I guess my life is still long and I will be even more tired than today.
First Journal Writing


This is my first journal writing. Just so you know, I'll do it gladly. As my teacher says "this is for the good of you. After all, who is that receive benefits except me?

There's not much I can tell this week
Starting from Monday, Tuesday, till Wednesday, my days were casual. Nothing really special. I almost forgot the new Lecturer in semester three, might be something special this week.
I am grateful for the GPA in the last term. hopefully these new lecturers will give me an equal or even better.

But Saturday mess entirely. You know every student admission, children in higher semester will hold a campus orientation program for them. Really, I was asked to be one of the organizers for the event. You know I never liked this, and I will continue to hate him. The reason is about what really gained by new students in addition to poor treatment unfriendly and seniority of the older levels. Mocked all night when the tent. Maybe not that bad, but my mind about hazing will never get better.

Just imagine, when I was a new student, and it's the fasting month, they treat us not so good. some students deliberately cancel his fast because of fatigue. It's something not quite in vain.

And if in the end, you met me in place the tent because I did not want to let my friend, Irna Christina alone and join with them. I also wish I could take this decision to change my mind.

And you know after everything was over, I added I've come to regret it. Sleep two hours and throughout the cold night sleeping with a stomach rumbling. I will remember this as a bad decision I have ever made. I said with a cruel "I will not join the event again, "Lord, do you agree with me right?

Rabu, 15 Desember 2010

27 Jam untuk Trotoar 27 Tahun

Ini kali pertama sejak berpindah tangan, TROTOAR mengadakan perjalanan untuk mengikuti pelatihan jurnalistik. Perjalanan itu menuju Medan. Suara USU_sebuah LPM Universitas Sumatra Utara_ dengan agenda Tahunannya yang diberi nama SALAM ULOS, mengundang TROTOAR beberapa bulan lalu. Segala persiapan keberangkatan diselesaikan satu persatu. Aku, Irna Christina dan Jaka Rahmandana ditetapkan sebagai crew yang berangkat. Tepat pada tanggal 21 bulan lalu, masing-masing dari kami diantarkan oleh orang tua untuk perjalanan mulia itu. Doa selamat mengiringi perjalanan pukul 11. 30.

Yang tak akan kulupakan selama perjalanan adalah, beberapa kali aku merasa perutku minta mengeluarkan sesuatu, jaka sama dengan ku. Tapi kami toh cukup kuat untuk membatalkan keinginan itu. 27 jam berada di bus, tak bisa sepenuhnya memejamkan mata, dan gerah karena tak mandi bukanlah kenangan yang indah. Siapa saja tau hal itu.

Pukul 17.30 kami benar-benar sampai penginapan. Sebuah balai pelatihan pendidikan formal dan informal. Beberapa panitia stand by di secretariat mereka. Senyum hangat dan Jabatan erat, mengisyaratkan bahwa acara ini akan bersahabat, tak perlu cepat kesal pada banyak orang seperti kebiasaanku. Erni, salah seorang dari mereka mengantarkanku ke kamar. Didepan pintu terdapat sebuah kertas yang menjelaskan siapa yang akan tidur sekamar denganku. Adliza Darwis, kuharap orangnya tak menyebalkan.

Selasa, 23 November acara “Salam Ulos” resmi dibuka. Tari Tor-Tor khas Sumatra Utara menyambut para peserta. Hanya saja, ditengah pertunjukan, seorang dari penari menjatuhkan mangkuk sebagai instrument menari mereka. Hancur berkeping-keping kelantai. Tapi sama sekali tak mengurangi senyumnya. Dia tetap menari seperti halnya yang lain. Seorang utusan dari dinas memukul gong beberapa kali pertanda acara ini dimulai secara resmi.

Beberapa menit istirahat, Acara pelatihan Jurnalistik yang diberi judul “Jurnalisme Damai” tak sekedar menuliskan tapi juga mendamaikan, dimulai. Usman Kansong merupakan pemateri pertama. Bahasannya seputar Sejarah dan perkembangan Jurnalisme Damai. Dari beberapa kepentingan yang dianggap lebih sesuai untuk perkembangan dunia jurnalistik maka lahirlah Peace Journalism mengeser kedudukan War Journalism atau jurnalisme perang. Jurnalisme perang berasaskan Bad news is a good news. Beberapa menit setelahnya dilanjutkan dengan session Tanya jawab. Acara berakhir sekitar pukul 12. Kami harus kembali ke Sekre untuk makan siang. Masalah makan dan bangun semenjak barada di penginapan adalah menjadi tanggung jawab panitia. Setiap jadwal bangun dan makan mereka akan mengetuk setiap kamar beberapa kali sambil menyerukan “makanan sudah siap atau “bangun udah subuh”. Beruntung memiliki mereka.

Luzi dia Manda, pemateri di hari berikutnya. Bahasannnya seputar Tehnik peliputan dan penulisan Berita jurnalisme damai. Berlangsung selama hampir 2 Jam. Luzi seorang wartawan yang mempunyai buletin khusus wanita Cik Puan. Peserta tak akan melewatkan kesempatan tanya jawab yang dibuka moderator. Beberapa pertanyaan muncul. Diantaranya tentang “bagaimana menyesuaikan teori yang diberikan seputar jurnalisme damai dengan tekhnik liputan dilapangan?”. Luzi menjawab bahwa segala teori yang siapa saja berikan, semuanya tak akan semudah itu. Ketika kalian terjun ke lapangan dan berusaha mencari bagian berita yang baik dan sesuai dengan jurnalisme damai, itu jauh lebih baik. Menjadi wartawan bukan soal teori tapi soal praktik.

Bang Hotli simanjuntak, seorang photographer untuk beberapa majalah luar negeri menjelaskan banyak tentang cara mengambil foto yang baik. Yang mendamaikan hati, yang tidak membuat isi berita menjurus pada War Journalism. Saya jadi ingat, pernah bertanya pada Andreas Harsono tentang seberapa besar pengaruh foto pada berita yang kita buat. Lantas Andreas menjawab “kadang, bahkan foto lebih banyak bicara dibanding beritanya”. Tak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan bang Hotli. Menarik, dapat dipastikan dia lancar berbahasa inggris.

Tanggal 24 malam, seluruh peserta diajak berkeliling kota Medan. Diajak menikmati bagaimana lampu-lampu jalan mendominasi kota ini malam hari. Percaya satu hal, dimana saja, malam akan menjadikan suasana nya lebih indah. Kami mampir ke Sebuah Mesjid Raya Kota Medan. Peninggalan kerajaan Deli. Menaranya tinggi berukir, tak akan bosan menatapnya. Kurasa jika tinggal di Medan, Sholat subuh pun aku akan mengerjakannya di Mesjid. Berharap pada akhirnya untuk kali pertama aku berhasil bangun sebelum pukul 6 untuk solat subuh

Tak sampai disitu, menempuh perjalanan sekitar 15 menit dengan berjalan kaki, kami telah sampai pula di Istana Maymun. Sebuah Istana yang juga peninggalan kerajaan Deli . Tak kalah menarik. Ukirannya khas, jika aku tak sedang membuat kesalaham pada ingatanku “ukiran istana sama dengan ukiran Mesjid raya”. Pada siang hari, istana dibuka dan dapat dikunjungi wisatawan. Karena hakikatnya kita bukanlah wisatawan, maka kita mengunjunginya malam hari. Hanya dapat mengambil beberapa foto dan memasukkan wajah kami didalamnya. Untuk suatu hari kuceritakan pada siapa saja yang ingin mendengar ceritaku bahwa aku telah bertandang ke Istana Raja Deli.
Sebuah peristiwa memalukan terjadi saat acara makan malam terahir. Malam ini seharusnya tak ada jadwal mendengarkan materi. Kami bahkan telah mempresentasikan dua hasil liputan yang seyogyanya harus sudah dapat memasukkan unsur yang dibutuhkan dalam peace journalism report. Sehari sebelumnya, kami diturunkan ke Pajus. Pajak USU. Sebuah pasar yang berlokasi didalam kampus USU. Pajak ini begitu dicintai pengunjungnya. Tak tanggung-tanggung. Pelangan pedagang pajus tak hanya mahasiswa USU, beberapa diantaranya siswa dan masyarakat umum. Kejadian memalukan itu adalah “Tak seorangpun diantara kami membawa buku dan pena”. Dalihnya baru saja makan malam, dan tak tahu jika masih ada materi. Kalimat ini yang harus diingat jika kita ingin tetap menamai diri sebagai jurnalis, “tak ada jurnalis yang meninggalkan pena dan buku nya”, itu teman kalian yang paling setia. Namanya Hanif Suranto. Aku sangat terkesan pada pemateri terahir ini. Sempat terpikir, kenapa Hanif tak diletakkan sebagai pemateri dihari pertama atau hari kedua. Yang paling kuingat dari Hanif adalah Jurnalisme damai ternyata boleh memihak, bukan pada siapa tapi pada nilai-nilai.

Hari Jumat, malamnya adalah waktu yang kuyakin ditunggu oleh semua peserta salam ulos. Kami akan berangkat ke Parapat, tempat Danau Toba diukir Tuhan, tepat pukul jam 12 malam. Pukul 10 setelah materi terakhir selesai, kami diminta kembali kekamar. Silahkan istirahat, kata panitia. Kenyataannya, tak ada yang bisa melewatkan malam itu dengan memejamkan mata. Sebagian besar dari kami berkumpul dilluar kamar, memetik gitar, mulai bernyanyi, nyanyi apa saja.

Sekitar pukul 5.00 kami tiba di Parapat setelah perjalanan 4 jam lebih. Percaya padaku, Flu yang selama di bus membuatku tak bisa tertidur, berhenti mengalir. Udaranya bersih sekali. Ku telpon Ibuku, hanya untuk memberi lelucon “Ibu, jika ingin pilek nya berhenti kesini saja”. Ibuku penderita alergi udara sejak aku ulangtahun kedua. Parapat sebuah daerah dingin yang indah, dikelilingi bukit-bukit dan sejauh memandang kalian bisa melihat indahnya danau. Tak ada sampah didanau toba. Mengesankan bahwa penduduk disekitar danau mencintai kebersihan. Mereka percaya satu hal jika suatu kali kalian membuang sampah didanau kalian tak akan bisa meneruskan perjalanan dengan kapal. Kapal kalian akan berputar-putar ditempat yang sama. Mengerikan. Erni juga sempat bercerita padaku bahwasanya setiap tahun ada festival danau Toba. Ada perlombaan renang dari parapat hingga pulau samosir. Aku sempat tak percaya. Menggunakan kapal saja kami butuh sekitar 40 menit bahkan lebih. Perenang danau toba pasti akan mengalahkan perenang dunia sekalipun.

Pasangrahan bung karno atau tempat singgahnya bung karno, hampir seluruh temanku memanfaatkan moment ini untuk menikmati mandi dengan dinginnya air danau toba. Sedangkan aku tidak. Koperku tak bisa dibuka. Bajuku tinggal satu-satunya. Jika tidak, aku akan memanfaatkan waktu ini untuk belajar berenang.

Sipiso-piso, air terjun yang tingginya mungkin 2 kali lebih tinggi dari air terjun yang Kerinci miliki. Ini menurut seseorang, untuk turun sampai pada kolam jatuhan air terjun sipiso-piso kalian butuh menuruni 1000 anak tangga. Menghabiskan 1 jam untuk turun dan 3 jam untuk naik kembali. Kami tak punya banyak waktu. Perjalanan akan dilanjutkan ke Brastagi. Kami direncanakan makan siang disebuah mesjid di kawasan itu. Udaranya masih tetap dingin. Ketika kami memutuskan untuk menunaikan sholat Zuhur terlebih dahulu, beberapa menit bulu roma kita akan berdiri disentuh air wudu. Dilanjutkan makan siang dibawah sebuah pohon, memandangi wajah teman-teman ku satu persatu. Kuharap tak akan segera berpisah dengan mereka.

Pukul 2, kami dijadwalkan pulang kembali ke Medan, mampir ke sentra penjualan Bika Ambon sekedar untuk membeli oleh-oleh lalu menuju sekretariat SUARA USU di wilayah kampus USU. Ruangan itu benar-benar berbeda dengan kondisi sekretariat TROTOAR. Jika kita selalu melaksanakan rapat apa saja di bawah pohon rindang, maka mereka memiliki ruang kerja yang benar-benar luas. Memilki kamar mandi, perpustakaan, dan beberapa unit komputer untuk membantu pekerjaan mereka. Diruangan itu didokumentasikan beberapa kegiatan yang telah mereka lakukan sepanjang SU berdiri. Benar-benar membanggakan. Minggu malam kami tidur bersama-sama di ruangan itu. Aku baru bisa tidur dipukul 2.30 malam, setelah main kartu dengan panitia dan beberapa peserta lainnya. Ku beri tahu, aku mencoret muka mereka dua kali dengan olesan kopi bubuk dicairkan. Tau artinya apa?

Perjalanan seminggu itu, sampai akhirnya kami ketinggalan bus untuk pulang ke Jambi tak bisa dikatakan tidak mengesankan. Namun yang jelas, tak akan ada yang sia-sia. Setiap ilmu yang baru saja didapat, dari pemateri atau dari teman-teman LPM lain akan segera kami terapkan. Trotoar membiayai perjalanan ini. Dan kami, kita, teman-teman berjanjilah untuk tidak akan menyerah membenahi segalanya. Perjalanan 27 Jam ke Medan di Bus yang menyiksa, mari diganti dengan menjamin bahwa “27 Tahun yang akan datang Trotoar akan tetap ada dikampus ini” mungkin lebih. Perbuat apa yang bisa kita perbuat.