Ini didedikasikan khusus untuk teman teman yang telah
menemani hari hari bahagia aku di SMA. Asal tahu saja kalian mengajarkan aku
sebuah hubungan yang kemungkinan putusnya sangat kecil. Hubungan itu disebut
berteman.
Lebaran lalu, aku dan beberapa teman kita pergi ke pantei.
Disebut pantei karena ini letaknya bukan dipinggiran laut. Kalau dipinggir laut
biasa kita sebut pantai. Nah berhubung ini di pinggir sungai mari kita namakan
ia pantei. Pantei Paur (baca r tidak jelas). Itu terletak di kawasan
selat maju sedikit. Agak susah menjelaskannya karena tidak ada angkutan jurusan
kesitu. Yang meng invite adalah Irka. Masih ingat Irka teman teman? Yap, betul,
yang itu.
Dia kirim sms pukul 11 atau 12 siang, lalu Agya dan Nila
berhasil dibujuk untuk ikut serta pada pukul 1. Mereka menjemput aku ke rumah
pukul 4. Sebelum kesana, kami harus menyewa Tour guide bernama Ating. Ingat Ating teman teman? Ating
stands for Ardi Kiting, yang memberi julukan pertama kali adalah aku. Kemudian
Nila alias Nda alias Ndut alias Bunda mengganti pronunciationnya menjadi
Diding. Makin jauhlah relasi antara Ardi dan Diding.
Dari rumah Diding, kita langsung menuju pantai. Sorry aku
tidak bisa menjelaskan itu berapa meter dari rumah Diding karena waktu pergi
tidak satupun diantara kami yang membawa meteran. Dijalan hari hujan. Berhenti
di depan salon. Memutuskan membaca papan harga tarif salon, bacaannya begini
:Rebonding, Kriting, Gunting dan aku tau benar kalau yang pake gerund Cuma
Rebonding doank. (Gerund adalah verb+ing teman teman). Haha.
Nila juga cerita soal kuntilanak, agaknya dia lupa, aku akan
pulang sendirian setelah mengantar Irka. Sampai dipantai sekitar jam 5. Pantai
itu, ahh sulit diungkapkan dengan kata kata. Dia lebih mirip tempat penambangan
pasir teman teman. Jika ke pantai yang kalian pikirkan mungkin adalah mengambil
banyak foto dengan beach scenery kan?, ini sedikit mirip, take photograph masih
mungkin dilakukan, tapi yang lebih menjadi pikiranku adalah membangun rumah
dengan pasir sebanyak ini. Siapa tahu jadi penambang pasir kaya. LOL
Sejak kapan ada acara turun kalau
ke pantai dan melewati sebuah papan jamban masyarakat? Lalu deg deg an karena
takut jatuh. Nila berulang kali menyebut nyebut lumpur hidup. Menyoalkan berat
badan dan takut tenggelam di pasir. Oh Nila, masih saja pencemas seperti dulu.
Dan yang berhasil kutangkap adalah Agya telah mengurangi frekuensi memekik
ketika ketakutan. Sudah berubah, prok prok prok.
Orang orang melihat kami, bukan
karena apa apa, karena kupikir mereka sedang berpikiran begini “Orang dusun
mana yang pake baju lebaran ke pantai beginian”. Oh my God, tau apa yang agya
rencanakan, teman teman kalau kesini lagi please pake baju buruk saja. Kukira
dia akan membongkar lemari dan mencari baju lama miliknya. Karena pada hari
pertama dia pakai baju berbahan licin dengan jilbab ribet tambah tas dan sandal
lebaran. Aku sebenarnya tak jauh beda. Irka juga, nila sih, jangan ditanya.
Kalau pergi ke pantai
pertambangan pasir ya begini, dari turun jamban harus berjalan sekitar 100
meter jauhnya untuk sampai ke dekat air. Agar bisa berpose seperti benar benar
sedang dipantai. Di perjalanan kesana beberapa kali kehilangan keseimbangan
karena kaki tersuruk ke pasir. Agya dan lain memutuskan membuka sandal. Saya
tau betul perasaan mereka, mungkin sekarang sedang membayangkan berada di Sanur
atau Losari.
Disana bakat bakat modeling yang
terpendam akhirnya dikeluarkan. Kesimpulannya, semua orang bisa jadi model.
Yang membedakan adalah dimana poto mereka akan dipajang. Ada yang berakhir di
playboy magazine, newspaper, atau hanya di fesbuk belaka. Yang jelas kita semua
model untuk henpon kita sendiri.
Nila, Agya, Irka sudah mulai
turun ke air, merendam kaki mereka dipinggir sungai. Lumut lumut kecil hulu
hilir diatas air, siapa tahu ketika air dalam, dan pantai ini lenyap, dulunya
bagian itu adalah tempat dimana kapasitas konsentrasi meningkat. Maksud saya,
tempat dimana dinding terasa dekat, kalian sudah mengerti? Atau tempat dimana
jongkok terasa melegakan. Hah *ini klu yang tidak mendidik ya. Maafkan aku.
Cuma aku benar benar sedang tidak ingin merendam kaki. Haha
Poto poto selesai. Kaset mengaji
di masjid sudah memanggil manggil. Semua punya pikiran untuk pulang kok. Aku
yakin itu. Cuma di jalan Irka masih sempat minta poto. Padahal jamban dimana kami
turun masih cukup jauh diujung sana. Kami pulang beriringan dengan orang pulang
mandi. Ibu itu menggendong anaknya, memegang kotak sabun ditangan kiri dan air
seember ditangan kanan. Akhirnya aku tahu air itu untuk mencuci kaki sebelum
naik ke daratan.
Aku senang pantai itu menjadi
tempat dimana hubungan yang disebut berteman ini dirajut kembali. Rasanya masih
sama lagi pula. Aku masih seperti ini dan kalian juga. Padahal sudah hampir 3
tahun. Bertemu setahun sekali atau setahun 2 kali tidak pernah mengurangi sense
of belonging kita ya. Bukan pantainya tapi bertemu kalian. Bukan frekuensi
bertemu namun kualitas pertemuan kita. Tetaplah kita berteman.
With Love
Silvina Yuza!
Aiyh,,,,
BalasHapusdak ngajak" lagi.
Mano hasil foto"ny sil ?